
Laju deforestasi di Indonesia adalah isu yang sangat kompleks, dengan angka-angka yang bervariasi tergantung pada metodologi yang digunakan. Data resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan laju deforestasi bersih sebesar 175,4 ribu hektare (ha) pada tahun 2024, yang merupakan deforestasi kotor (216,2 ribu ha) dikurangi reforestasi (40,8 ribu ha) . Di sisi lain, data dari Global Forest Watch (GFW) menunjukkan angka kehilangan hutan alam yang lebih tinggi, yaitu 259 ribu ha pada tahun yang sama. Perbedaan ini timbul karena KLHK menghitung “deforestasi bersih” dan menggunakan unit pemetaan minimum yang lebih besar (6,25 ha), sementara GFW menggunakan metrik “kehilangan tutupan pohon” yang lebih sensitif (0,09 ha) dan tidak memperhitungkan reforestasi.
Akar masalah deforestasi sangat beragam dan saling terkait. Pemicu utamanya termasuk ekspansi perkebunan kelapa sawit yang menyumbang sekitar sepertiga (3 juta ha) dari hilangnya hutan primer dalam dua dekade terakhir , praktik pembukaan lahan dengan cara dibakar, dan pembalakan liar . Kebakaran hutan dan lahan saja telah menyebabkan hilangnya 2,97 juta ha tutupan pohon antara tahun 2001 hingga 2024. Selain itu, konversi lahan untuk pertanian skala kecil juga berkontribusi pada deforestasi, sering kali dipicu oleh akses yang dibuka oleh industri perkayuan.
Konsekuensi dari deforestasi meluas ke berbagai aspek kehidupan. Secara ekologis, deforestasi menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan habitat bagi spesies-spesies endemik seperti orangutan, harimau Sumatra, dan badak Jawa . Hutan yang hilang juga melepaskan karbon ke atmosfer, mengubahnya dari penyerap karbon menjadi sumber emisi dan berkontribusi pada perubahan iklim global . Dampak sosial dan ekonomi juga signifikan, di mana masyarakat adat kehilangan tanah dan mata pencaharian tradisional mereka, yang sering kali meningkatkan kemiskinan dan ketidaksetaraan .
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai inisiatif seperti program Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, yang bertujuan untuk menjadikan sektor kehutanan sebagai penyerap bersih emisi karbon. Namun, implementasinya menghadapi hambatan seperti pendanaan yang minim dan tantangan operasional di lapangan . Oleh karena itu, peran pihak swasta dan profesional, seperti Konsultan Lingkungan, menjadi semakin penting.
Jasa Konsultan Lingkungan memainkan peran krusial dalam membantu pelaku usaha menavigasi proses Perizinan Lingkungan yang rumit. Seorang Konsultan membantu dalam penyusunan dokumen-dokumen vital seperti AMDAL dan UKL-UPL yang wajib dimiliki oleh setiap rencana usaha atau kegiatan yang berdampak signifikan pada lingkungan. Dengan keahlian yang dimiliki, seorang Konsultan AMDAL memastikan bahwa analisis dampak dan rencana pengelolaan yang disusun akurat dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Secara keseluruhan, tantangan deforestasi di Indonesia menuntut pendekatan holistik dan kolaboratif. Keterlibatan perusahaan Konsultan yang berpengalaman dan berkomitmen seperti PT Karsa Buana Lestari sangat penting untuk memastikan setiap aktivitas pembangunan dapat berjalan seiring dengan prinsip-prinsip keberlanjutan. Dengan demikian, bisnis dapat berkembang sambil berkontribusi pada perlindungan lingkungan untuk masa depan yang lebih baik.